EDISI Januari 2002  -------  SOSOK ALUMNI

Contoh Iklan:260 x 90 = Rp 2.000.000,- /bl
Tabloid GEMA Alumni Undip
Redaksi / TU :
Kantor DPP Ika Undip
Jl. Atmodirono No. 11 Semarang
Telp. 024 - 8411562
Email : [email protected]
© Gema Alumni Undip, 2002

Prof Dr dr Satoto, Sp.GM
"Undip Perlu Lakukan Langkah
Kongkrit Efisiensi"

Prof. Dr. Satoto, Sp. GM
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, sudah saatnya Undip mengarah pada konsep pendidikan pascasarjana. Sedangkan prioritas kegiatan pengabdian pada masyarakat, sudah saatnya Undip mengubah pola. Misalnya tidak hanya membagi-bagikan beras, tetapi harus memberi mutu pada kegiatan tersebut. Karena kegiatan pengabdian masyarakat salah satu upaya perguruan tinggi untuk mengangkat dan memberdayakan kehidupan masyarakat yang lebih tinggi.

Sebagai peneliti senior, Satoto menyatakan Undip perlu melakukan langkah-langkah efisiensi yang kongkrit dalam pengelolaannya. Karena pada era otonomi kampus nantinya, lembaga perguruan tinggi, dalam soal pendanaan dan pengelolaan akan dituntut untuk mandiri. "Jika segala kegiatan kita tidak efisien, masa depan Undip tidak tertutup kemungkinan akan terancam," ungkapnya mengingatkan. Maka, sebagai upaya yang ditempuh adalah memperhitungkan segala aspek kegiatan secara efisien dan tepat guna.
"Jadi apa perlu kita mengundang wisudawan sejumlah 1000 orang dengan orang tuanya, belum saudara yang hadir dalam satu even. Sehingga kita akan membutuhkan gedung dengan kapasitas 5000 orang. Padahal gedung tersebut hanya dipakai 3 atau 4 kali dalam setahun. Sedangkan di fakultas juga menyelenggarakan kegiatan wisuda fakultas ataupun syukuran, apa semua kegiatan itu bisa dikatakan efisien," tandasnya.

Otonomi Kampus

Kepercayaan masyarakat pada perguruan tinggi sangatlah tinggi. Sehingga persoalan keadilan dan kebijaksanaan pada lembaga tinggi harus ditegakkan. "Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, pembukaan program ekstensi tidak etis dan tidak adil karena masyarakat kita harus membayar mahal. Sementara dampaknya lulusan Undip mutunya menjadi berkurang. Ini karena semua calon mahasiswa bisa masuk asal dapat membayar," ung
kap Satoto kritis. Menyinggung masalah otonomi kampus, Prof Dr Satoto menandaskan Undip harus siap dengan kebijakan tentang otonomi kampus itu. Ketika pemerintah menerbitkan PP No. 60 dan 61, berarti cepat atau lambat otonomi kampus akan diberlakukan pada semua perguruan tinggi di Indonesia.

Menurut Satoto, dengan diberlakukannya otonomi kampus, yang perlu dijadikan tekanan adalah soal keseimbangan penggunaan anggaran. Seperti halnya, kepada daerah di era otonomi daerah sekarang ini. Mereka perlu mencari sumberdana sendiri, termasuk melakukan keseimbangan anggaran. "Jadi perlu ada keseimbangan keuangan. Kalau anggaran yang ada itu sedikit maka kegiatan yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan anggaran yang ada," jelasnya.

Pemberian kewenangan pemerintah kepada perguruan tinggi dalam pengambilan keputusan. Seperti yang diterangkan pada PP Nomor 60, pemilihan rektor dilakukan oleh menteri. Sedang pada PP Nomor 61 menerangkan, pengangkatan rektor dilakukan oleh dewan amanat. "Kalau saya ditanya kapan Undip siap melaksanakan, dengan adanya otonomi kampus. Saya akan menjawab hari inipun saya siap," tegas Satoto.

Mengenai definisi biaya operasional pada perguruan tinggi, menurut Satoto tidak ada jalan lain kecuali harus bekerja keras untuk mencari dana baik dari masyarakat ataupun dari mahasiswa melalui SPP. Sehingga tidak seperti kejadian saat ini dimana mahasiswa harus tawar-menawar dengan perguruan tinggi mengenai biaya pendidikan yang harus dibayar.
Disinggungnya pula, mestinya pihak pengelola memberikan ketegasan mengenai biaya pendidikan dengan memberi perincian kebutuhan yang harus dikeluarkan oleh PT untuk membiayai setiap mata kuliah yang ada.

indrang/fat/tg

Prof Dr dr Satoto, Sp.GM, termasuk salah satu alumnus Undip yang dicalonkan sebagai rektor Undip. Pandangannya tentang dunia pendidikan, nampaknya cukup untuk diperhitungkan. Apalagi, Satoto pada lingkup Jawa Tengah, dikenal sebagai peneliti yang handal. Tidak mengherankan jika Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, mempercayai dirinya sebagai Ketua Dewan Riset Daerah yang bermarkas di Jalan Imam Bonjol, Semarang.

Menurut Prof Dr Satoto, pendidikan jenjang Strata Satu (S1) mestinya harus ditempuh oleh mahasiswa maksimal 5 tahun. Pasalnya, bila melebihi target maksimal itu, selain tidak efisien, keuangan negara juga ikut dirugikan, karena terlalu lama memberi subsidi pendidikan pada mahasiswa itu. Begitu juga dengan program S2, mestinya batasannya cukup 2 tahun. Tapi, kenyataannya ditempuh sampai 3 sampai 5 tahun. "Ini menurut saya perlu ada efisiensi dalam dunia pendidikan itu sendiri," kata Satoto.

Satoto, yang juga dikenal sebagai tokoh PMI Jawa Tengah ini mengusulkan ada semacam penelitian dan pengkajian, yang membuat waktu tempuh pendidikan itu menjadi lama. Jadi kegiatan yang membuat lama pendidikan harus dapat dikaji kembali. "Seperti halnya pada mata kuliah Kuliah Kerja Nyata atau yang lebih dikenal KKN, keuntungan apa yang didapat oleh mahasiswa dan masyarakat pada jangka panjangnya," ungkap alumnus Fakultas Kedokteran Undip tahun tahun 1971 ini.

Menurutnya, dalam program KKN, mahasiswa justru akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Karena harus dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat baik itu berupa sumbangan moril atau material. Sedang pada masyarakat keuntungan yang didapat hanyalah pembangunan yang bersifat sementara, seperti pembuatan papan nama, perbaikan mushola ataupun ceramah-ceramah kepada masyarakat. Termasuk pembuatan skripsi, sebagai tugas akhir mahasiswa sebelum meninggalkan bangku kuliah, juga mendapat sorotan kritis dari Prof Satoto. karena dalam pembuatan skripsi, mahasiswa memerlukan dana yang tidak sedikit.

Bermutu dan Efisien
Pandangan kritis Ketua PMI Jawa Tengah ini lainnya adalah tentang berbagai program pendidikan yang diselenggarakan oleh Undip. Seperti, program pendidikan diploma dan ekstensi. "Nah, dua program itu apakah masih layak untuk dipertahankan," ungkapnya dengan nada tanya.
Seperti dibukanya program ekstensi, program ini memberi kesempatan pada lulusan SMU yang gagal masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dapat dengan mudah masuk PTN dengan syarat yang lebih ringan dibanding dengan yang diterima melalui jalur UMPTN.

Sementara, perlakuan studinya antara mahasiswa ekstensi dengan reguler relatif sama. Mungkin yang membedakan pada tingkat besaran SPP-nya. Padahal, lulusan SMU yang akan masuk ke Undip, persaingannya cukup ketat bahkan relatif sulit. Sedangkan mahasiswa ekstensi ternyata mengalami kemudahan, asal memiliki dana yang cukup kuat. "Tapi soal mutu lulusan, saya berkeyakinan tetap lebih baik mahasiswa Undip yang reguler," jelas Satoto.

Dikhawatirkan Undip sebagai lembaga pendidikan tinggi di masa yang akan datang akan mengalami kemerosotan mutu. Karena tidak ada perbedaan yang jelas antara mahasiswa ekstensi dengan yang reguler. Satoto juga mengungkapkan kekhawatirannya, dosen - dosen nantinya akan lebih memilih mengajar di program ekstensi dari pada program reguler. Pasalnya, gaji seorang dosen negeri lebih kecil. "Kita tahu gaji pegawai negeri kecil tetapi kita sebagai lembaga pendidikan tinggi tidak perlu ngecer," katanya mengkritik.

 

 

 

<< Back